Minggu, 30 Oktober 2016

pengertian dan ruang lingkup fiqih

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG MASALAH
Tidak diragukan lagi bahwa Syariat Islam adalah penutup semua risalah samawiyah, yang membawa petunjuk dan tuntunan Allah Swt untuk ummat manusia dalam wujudnya yang lengkap dan final. Itulah sebabnya, dengan posisi seperti ini, maka Allah pun mewujudkan format Syariat Islam sebagai syariat yang abadi dan komperhensif.
Hal itu dibuktikan dengan adanya prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah hukum yang ada dalam Islam yang membuatnya dapat memberikan jawaban terhadap hajat dan kebutuhan manusia yang berubah dari waktu ke waktu, seiring dengan perkembangan zaman. Secara kongkrit hal itu ditunjukkan dengan adanya dua hal penting dalam hukum Islam: (1) nash-nash yang menetapkan hukum-hukum yang tak akan berubah sepanjang zaman dan (2) pembukaan jalan bagi para mujtahid untuk melakukan ijtihad dalam hal-hal yang tidak dijelaskan secara sharih dalam nash-nash tersebut. 
Sebagaimana diketahui bahwa hukum merupakan salah satu aspek terpenting dalam Islam disamping beberapa aspek terpenting lainnya. Dengan adanya hukum, manusia bersama komunitasnya dapat menjalankan beragam aktivitasnya dengan tenang dan tanpa ada perasaan was-was. Dan dengan hukum pula manusia dapat mengetahui manakah pekerjaan-pekerjaan yang diperbolehkan dan apa sajakah pekerjaan-pekerjaan yang tidak diperbolehkan untuk dilakukan. Fiqih sebagai sebuah produk hukum tentu perlu mendapat penjelasan tentang apa dan bagaimana Fiqih bisa menjadi sebuah ketetapan hukum.










B.     Rumusan makalah
1.      Apa pengertian fiqh secara etimologi dan terminologi?
2.      Bagaimana sejarah fiqh pada masa Rosulloh saw sampai periode Imam Mujtahid?
3.      Apa pengertian hukum Islam?
4.      Bagamana usaha pembagian hukum Islam?
5.      Apa saja sumber perumusan hukum Islam?
C.     Tujuan penulisan
1.      Mengetahui fiqh secara bahasa dan istilah
2.      Mengetahui sejarah fiqh
3.      Mengetahui pengertian hukum Islam
4.      Mengetahui bagian hukum Islam
5.      Mengetahui sumber hukum dalam agama Islam



















BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Fiqh
Kata fiqh secara etimologis berarti “paham yang mendalam”. Bila “paham” dapat digunakan untuk hal-hal yang bersifat lahiriyah, maka fiqh berarti paham yang menyampaikan ilmu zhahir kepada ilmu batin. Karena itulah al-Thirmizi meyebutkan, “Fiqh tentang sesuatu” berarti mengetahui batinnya sampai kepada yang kedalamannya. 
Secara  termilnologis fiqh berarti “Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang digali dan ditentukan dari dalil-dalil yang tafsili”. Dalam definisi ini, fiqh diibaratkan dengan ilmu karena fiqh itu semacam ilmu pengetahuan. Memang fiqh itu tidak sama dengan ilmu seperti disebutkan di atas,  fiqh itu bersifat zhanni.fiqh adalah apa yang dapat dicapai oleh mujtahid dengan zhannya, sedangkan ilmu tidak bersifat zhanni seperti fiqh. Namun karena zhan dalam fiqh ini kuat, maka ia mendekati pada ilmu; karenanya dalam definisi ini ilmu digunakan juga untuk fiqh.
Kata”hukum” dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa hal-hal yang berada di luar apa yang dimaksud dengan kata “hukum”, seperti zat, tidaklah termasuk dalam pengertian fiqh. Bentuk jamak dari hukum adalah “ahkam”. Disebut dalam bentuk jamak, adalah untuk menjelaskan bahwa fiqh itu ilmu tentang seperangkat aturan yang disebut hukum.
Penggunaan kata “syar’iyyah” atau “syariah” dalam definisi tersebut menjelaskan bahwa fiqh itu menyangkut ketentuan yang bersifat syar’i, yaitu sesuatu yang berasal dari kehendak Allah swt. Kata ini sekaligus menjelaskan bahwa sesuatu yang bersifat ‘aqli seperti ketentuan bahwa dua kali dua adalah empat atau bersifat hissi seperti ketentuan bahwa api itu panas bukanlah lapangan ilmu fiqh.
Kata “amaliah” yang yang yerdapat dalam definisi di atas menjelaskan bahwa fiqh itu hanya menyangkut tindak tanduk manusia yang bersifat lahiriyah. Dengandemikian hal-hal yang bersifat bukan amaliah seperti masalah keimanan atau aqidah tidak termasuk dalam lingkungan fiqh dalam arti ini.
Penggunaan kata “digali dan ditentukan” mengandung arti bahwa fiqh itu adalah hasil penggalian, penemuan, penganalisan, dan menentukan ketetapan tentang hukum. Karenanya bila bukan dalam bentuk hasil suatu penggalian seperti mengetahui apa-apa secara lahir dan jelas dikatakan Allah swt tidak disebut fiqh. Fiqh itu adalah hasil penemuan mujtahid dalam hal-hal yang tidak dijelaskan oleh nash.
Kata “tafsili” dalam definisi itu menjelaskan tentang dalil-dalil yang digunakan seorang faqih atau mujtahid dalam penggalian dan penemuannya. Karena itu, ilmu yang diperoleh orang awam dari seorang mujtahid yang terlepas dari dalil tidak termasuk ke dalam pengertian fiqh.
Al-Amidi memberikan definisi fiqh yang berbeda dengan difinisi diatas, yaitu: “Ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syara’ yang bersifat furu’iyah yang berhasil didapatkan melalui penalaran atau istidlal”
  Kata “furu’iyah” dalam definisi al-Amidi ini menjelaskan bahwa ilmu tentang dalil dan macam-macamnya sebagai hujjah, bukanlah fiqh menurut artian ahli ushul, sekalipun yang diketahui itu adalah hukum yang bersifat nazhari.
Penggunaan kata “penalaran” dan “iatidlal” (yang sama maksudnya dengan “digali”) menurut istilah Ibnu Subki atas memberikan penjelasan bahwa fiqh itu adalah hasil penalaran dan istidlal. Ilmu yang diperoleh bukan dengan cara seperti itu- seperti ilmu Nabi tentang apa yang diketahuinya dengan perantaraan wahyu-tidak disebut fiqh.

B.Ruang lingkup fiqih
a. Ibadah

Dalam bab ini dibicarakan serta dibahas persoalan persoalan yang bisa dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan berikut ini:
1. Anggaran Thaharah (bersuci);
2. Anggaran Ibadah (sembahyang);
3. Anggaran Shiyam (puasa);
4. Anggaran Zakat;
5. Anggaran Zakat Fithrah;
6. Anggaran Haji;
7. Anggaran Janazah (penyelenggaraan jenazah);
8. Anggaran Jihad (perjuangan);
9. Anggaran Nadzar;
10. Anggaran Udhiyah (kurban);
11. Anggaran Zabihah (penyembelihan);
12. Anggaran Shayid (perburuan);
13. Anggaran ‘Aqiqah;
14. Anggaran Makanan serta minuman.

b. Ahwalusy Syakhshiyyah

Dalam bab ini dibicarakan serta dibahas persoalan-persoalan yang bisa dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan pribadi (perorangan), kekeluargaan, harta warisan, yang meliputi persoalan:
1. Anggaran Nikah;
2. Anggaran Khithbah (menikahi);
3. Anggaran Mu’asyarah (berteman);
4. Anggaran Nafaqah;
5. Anggaran Talak;
6. Anggaran Khulu’;
7. Anggaran Fasakh;
8. Anggaran Li’an;
9. Anggaran Zhihar;
10. Anggaran Ila’;
11. Anggaran ‘Iddah;
12. Anggaran Rujuk;
13. Anggaran Radla’ah;
14. Anggaran Hadlanah;
15. Anggaran Wasiat;
16. Anggaran Warisan;
17. Anggaran Hajru; serta
18. Anggaran Perwalian.

c. Muamalah Madaniyah

Biasanya disebut muamalah saja. Dalam bab ini dibicarakan serta dibahas persoalan-persoalan yang dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan harta kekayaan, harta milik, harta keperluan, tutorial memperoleh serta memakai, yang meliputi persoalan:
1. Anggaran Buyu’ (jual-beli);
2. Anggaran Khiyar;
3. Anggaran Riba (renten);
4. Anggaran Sewa-menyewa;
5. Anggaran Hutang-piutang;
6. Anggaran Gadai;
7. Anggaran Syuf’ah;
8. Anggaran Tasharruf;
9. Anggaran Salam (pesanan);
10. Anggaran Jaminan (borg);
11. Anggaran Mudlarabah serta Muzara’ah;
12. Anggaran Pinjam-meminjam;
13. Anggaran Hiwalah;
14. Anggaran Syarikah;
15. Anggaran Wadi’ah;
16. Anggaran Luqathah;
17. Anggaran Ghasab;
18. Anggaran Qismah;
19. Anggaran Hibah serta Hadiyah;
20. Anggaran Kafalah;
21. Anggaran Waqaf*;
22. Anggaran Perwalian;
23. Anggaran Kitabah; serta
24. Anggaran Tadbir.

*Dari sisi niat serta kegunaaan, waqaf ini kadang-kadang dimasukkan dalam kelompok ibadah; tetapi dari sisi barang/benda/harta dimasukkan ke dalam kelompok muamalah.

d. Muamalahiyah

Kadang-kadang disebut Baitul mal saja. Dalam bab ini dibicarakan serta dibahas persoalan-persoalan yang bisa dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan harta kekayaan milik bersama, baik masyarakat kecil alias besar semacam negara (perbendaharaan negara = baitul mal). Pembahasan di sini meliputi:
1. Anggaran Status milik bersama baitul mal;
2. Anggaran Sumber baitul mal;
3. Anggaran Cara pengelolaan baitul mal;
4. Anggaran Macam-macam kekayaan alias materi baitul mal;
5. Anggaran Obyek serta tutorial pemakaian kekayaan baitul mal;
6. Anggaran Kepengurusan baitul maal; serta lain-lain.

e. Jinayah serta ‘Uqubah (pelanggaran serta hukuman)

Biasanya dalam kitab-kitab fiqh ada yang menyebut jinayah saja. Dalam bab ini di bicarakan serta dibahas persoalan-persoalan yang bisa dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan pelanggaran, kejahatan, pembalasan, denda, hukuman serta sebagainya. Pembahasan ini meliputi:
1. Anggaran Pelanggaran;
2. Anggaran Kejahatan;
3. Anggaran Qishash (pembalasan);
4. Anggaran Diyat (denda);
5. AnggaranSanksi  pelanggaran serta kejahatan;
6. Anggaran Hukum melukai/mencederai;
7. Anggaran Hukum pembunuhan;
8. Anggaran Hukum murtad;
9. Anggaran Hukum zina;
10. AnggaranSanksi  Qazaf;
11. AnggaranSanksi  pencuri;
12. AnggaranSanksi  perampok;
13. AnggaranSanksi  peminum arak;
14. Anggaran Ta’zir;
15. Anggaran Membela diri;
16. Anggaran Peperangan;
17. Anggaran Pemberontakan;
18. Anggaran Harta rampasan perang;
19. Anggaran Jizyah;
20. Anggaran Berlomba serta melontar.

f. Murafa’ah alias Mukhashamah

Dalam bab ini dibicarakan serta dibahas persoalan-persoalan yang bisa dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan peradilan serta pengadilan. Pembahasan pada bab ini meliputi:
1. Anggaran Peradilan serta pendidikan;
2. Anggaran Hakim serta Qadi;
3. AnggaranSomasi ;
4. AnggaranVerifikasi  dakwaan;
5. Anggaran Saksi;
6. Anggaran Sumnpah serta lain-lain.

g. Ahkamud Dusturiyyah

Dalam bab ini dibicarakan serta dibahas persoalan-persoalan yang bisa dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan ketatanegaraan. Pembahasan ini meliputi:
1. Anggaran Kepala negara serta Waliyul amri;
2. Anggaran Syarat menjadi kepala negara serta Waliyul amri;
3. Anggaran Hak serta keharusan Waliyul amri;
4. Anggaran Hak serta keharusan rakyat;
5. Anggaran Musyawarah serta demokrasi;
6. Anggaran Batas-batas toleransi serta persamaan; serta lain-lain

h. Ahkamud Dualiyah (hukum internasional)

Dalam bab ini dibicarakan serta dibahas persoalan-persoalan yang bisa dikelompokkan ke dalam kelompok persoalan hubungan internasional. Pembicaraan pada bab ini meliputi:
1. Anggaran antar negara, sama-sama Islam, alias Islam serta non-Islam, baik ketika damai alias dalam situasi perang;
2. Anggaran Ketentuan untuk orang serta damai;
3. Anggaran Penyerbuan;
4. Anggaran Persoalan tawanan;
5. Anggaran Upeti, Pajak, rampasan;
6. Anggaran Perjanjian serta pernyataan bersama;
7. AnggaranKonservasi



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Setelah dibahas panjang lebar tentang fiqh dan hukum Islam yang merupakan judul makalah ini, dalam bab terakhir ini akan ditarik beberapa kesimpulan.
1.      Fiqh berarti “Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang digali dan ditentukan dari dalil-dalil yang tafsili”. Dalam definisi ini, fiqh diibaratkan dengan ilmu karena fiqh itu semacam ilmu pengetahuan.
Al-Amidi memberikan definisi fiqh yang berbeda dengan difinisi diatas, yaitu: “Ilmu tentang seperangkat hukum-hukum syara’ yang bersifat furu’iyah yang berhasil didapatkan melalui penalaran atau istidlal”.
2.fiqih memiliki beberapa ruang lingkup yaitu:
a.ibadah
b.ahwalusy syakhsyiyyah
c.muamalah madaniyah
d.muamalah amaliyah
e.jinayah dan ‘uqubah(pelanggaran dan hukum)
f.murofa’a atau mukhosamah
g.akhamud dusturiyyah
h.ahkamud dualiyah (hukum internasional)







DAFTAR PUSTAKA
Hanafi, Ahmad, 1989, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Jakarta. Bulan Bintang.


Usman, Iskandar, 1994, Istihsan dan Pembaharuan Hukum Islam, Jakarta. Raja          Grafindo Persada.

Syarifuddin, Amir, 1997, Ushul Fiqh jilid 1, Jakarta. Logos Wacana Ilmu.

http://kompaspurworejo.blogspot.co.id/2015/10/makalah-fiqih-dan-hukum-islam.html

Minggu, 23 Oktober 2016

Persefektif para iamam besar tentang masalah kepemimpinan


   Dalam bidang ini pandangan imam hambali sama dengan imam maliki, beliau mengutamakan kesatuan dan persatuan umat. Beliau tidak mau mengadakan pembrontakan terhadap penguasa walaupun penguasa itu dzalim. Beliau tidak mau mencela segolongan dari sahabat dan tidak membenarkan orang mencela seorang sahabat, 
    Apabila apa yang dikemukakan Al-Ghazali bisa diaplikasikan, maka interaksi antar manusia akan terbentuk. Tak terkecuali dalam pembentukan sebuah negara, dalam hal ini, interaksi merupakan syarat mutlak untuk dilakukan. Pembentukan sebuah negara dimulai dari adanya daerah (wilayah) dan rakyat kemudian dibentuklah pemerintahan. Dengan kata lain, Negara bukan terjadi dengan sendirinya, tetapi diadakan oleh manusia dan untuk manusia. Dalam pandangan Al-Ghazali, negara merupakan suatu lembaga yang sedemikian penting, untuk menjamin pergaulan hidup manusia. Bahkan, keberadaan negara adalah dalam rangka menjaga dan merealisasikan syariat agama yang kokoh, yaitu mengantarkan manusia menuju kebahagiaan hakiki. Secara tegas Beliau  menyatakan: “Agama merupakan pokok (pondasi) sebuah bangunan, sedangkan negara adalah penjaganya”.
Didalam sejarah pemerintahan islam, istilah ini muncul pemerintahan kenabian dengan wafatnya beliau pada tahun 632 M. istilah khilafah ini mengandung arti “perwakian”, “penggantian” atau “jabatan khalifah.” istilah ini berasal dari bahasa Ara, “khalf” yang berarti “wakil”, penggant”, dan penguasa.
Lain halnya dengan perspektif politik sunni, khalifah menurut mereka di dasarkan pada dua rukun, yaitu: konsensus elit politik (ijma’) dan pemberian legistimasi  (bay’ah). karena, setap pemilihan pemimin yang di tetapkan oleh elit politi. Setlah itu baru dibai’ah oleh rakyatnya demikian, menurut harun Nasution, bukanlah dalam artian suatu bentuk kerajaan, tetapi lebih cenderung pada republik. Dalam arti, seorang kepala negara dipilih tidak tetap mempunyai sifat  turun-temurun .
   Islam Imam al-Ghazali dalam Kitab Ihya’ Ulumuddin juz II mengatakan: “Sesungguhnya, kerusakan rakyat di sebabkan oleh kerusakan para penguasanya, dan kerusakan penguasa disebabkan oleh kerusakan ulama, dan kerusakan ulama disebabkan oleh cinta harta dan kedudukan; dan barang siapa dikuasai oleh ambisi duniawi ia tidak akan mampu mengurus rakyat kecil, apalagi penguasanya. Allah-lah tempat meminta segala persoalan.
Bagi Imam al-Ghazali, krisis yang menimpa suatu negara dan masyarakat berakar dari kerusakan yang menimpa para ulamanya. Karena itu, reformasi yang dilakukan Sang Imam dimulai dengan memperbaiki para ulama. Selain itu dalam pandangannya, pemimpin negara tidak boleh dipisah dari ulama.
Ibn Khaldun; Pemikirannya Tentang Pemerintahan
     Dalam pendekatan normative-subtantif, yang juga pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad Saw, Nabi dalam memimpin dan memberikan rasa aman selalu mengutamakan kepentingan publiklah yang didahulukan karena pada hakekatnya sebuah pemimpin atau pemerintah haruslah bisa memberikan minimal dua tanggung jawab yakni kesejahteraan dan rasa ama. selain itu secara umum setiap pemimpin muslim harus menjalankan fungsi standard penguasa public dengan penuh kebajikan.


Bentuk-Bentuk Pemerintahan
Ibn Khaldun berpendapat bentuk pemerintahan  minimal ada tiga, yakni:  
   Pertama; Pemerintahan yang natural (siyasah thabi’iyah), yaitu pemerintahan yang membawa masyarakatnya sesuai dengan tujuan nafsu. Pemerintahan jenis ini dizaman sekarang menyerupai pemerintahan otoriter, individualis, otokrasi, atau inkonstitusional.
Kedua; Pemerintahan yang berdasarkan nalar (siyasah ‘aqliyah), yaitu pemerintahan yang membawa rakyatnya sesuai dengan rasio dalam mencapai kemaslahatan duniawi dan mencegah kemudharatan. Pemerintahan yang berasaskan Undang-undang yang dibuat oleh para cendekiawan dan orang pandai. Pemerintahan jenis ini dizaman sekarang serupa dengan pemerintahan Republik, atau kerajaan insitusional yang dapat mewujudkan keadilan sampai batas tertentu.
Ketiga;  Pemerintahan yang berlandaskan Agama (siyasah Diniyyah), yaitu pemerintahan yang membawa semua rakyatnya sesuai dengan tuntunan agama, baik yang bersifat keduniawian maupun keukhrawian.
    Ibn Khaldun; tidak ada pemisahan antara politik dan agama. Menurut Ibn Khaldun membicarakam masalah pemerintahan sangat berbeda dengan kekhalifahan, karena pemerintahan hanyalah sebagian kecil dari asepk yang ada dalam kekhalifahan dan hal ini pun tidak langsung bergaris lurus dengan agama, ada beberapa lembaga yang dapat disimpulkan dari pemikirannya Ibn Khaldun, yakni;
 Wizrah merupakan lembaga yang berfungsi sebagai pemegang pemerintahan (kesultanan) yang di dalamnya menjalankan fungsi sebagai berikut (1) membela masyarakat, mengawasi tentara, persenjataan, oprasi militer, (2) kesekretariatan atau korespodensi dalam mengirimkan surat, (3) menangani pengumpulan dan pengeluaran pajak/wazir, (4) menjaga raja atau khalifah.

Minggu, 16 Oktober 2016

Setelah melalui perjuangan yang panjang, akhirnya Tim Riset dan Pengabdian mahasiswa Prodi Pengembangan Masyarakat Islam (PMI), Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK) UIN Sunan Kalijaga, yakni Desy Alhasyah, Husnul Khotimah, dan Jeky berhasil meraih juara 1 National Research Camp (NARES) 2016 yang diselenggarakan oleh Universitas Negeri Semarang, Minggu 6-9 Oktober 2016.
NARES 2016 kali ini mengambil tema; “Aktualisasi Inovasi Pemuda dalam mengoptimalkan Potensi Daerah menuju Suistainable Development Goals 2030”. Tim Riset dan Pengabdian Prodi PMI FDK UIN Sunan Kalijaga mengambil topik “ Pemberdayaan Berbasis Aset: Pengolahan Keripik Bonggol Pisang Di Desa Pabelan Melalui Kemitraan Dengan BPPM (Balai Pengkajian Dan Pengembangan Masyarakat) Pondok Pesantren Pabelan”
“Topik ini dipilih karena banyak potensi ekonomi yang tumbuh di dalam masyarakat, namun tidak dikembangkan secara baik. Salah satunya adalah bonggol pisang yang dapat dibuat menjadi kripik dan diproduksi secara massal untuk meningkatkan pendapatan ekonomi keluarga”, ujar Desy.
Proses kompetisi NARES 2016 ini melalui tiga tahapan, tahap pertama seleksi ICP (Ideas Concept Project), dari 81 peserta dari berbagai Perguruan Tinggi (PT) di Indonesia hanya 10 PT yang lolos masuk finalis, yakni UIN Sunan Kalijaga, UMY, UGM, ITS, Universitas Pendidikan Indonesia, Universitas Sumatera Utara, Universitas Negeri Semarang, Universitas Diponegoro, Unpad Semarang dan IPB.
Tahap kedua, peserta finalis diundang dewan juri untuk mengimplementasikan ICP nya dihadapan masyarakat, antusias memasyarakat pada proses implemetasi ini menjadi indikator penilaian dewan juri. Dan tahap terakhir, yakni mempresentasikan ICP dan proses implementasi dihadapan tim dewan juri.
Husnul Khotimah berharap semoga program yang sudah direncanakan dapat terus berlanjut sehingga dapat meningkatkan perekonomian masyarakat. “Untuk dapat mengikuti perlombaan ini dibutuhkan percaya diri, niat, dan kemauan yang keras. Karena hasil tidak pernah mengkhianati proses”, lanjutnya.
“hari yang mengejutkan, tidak mudah untuk bisa meraih juara 1 NARES 2016 karena para pesaingnya dari kampus besar seperti UGM, ITB, ITS, IPB, UNDIP dan UMY yang para mahasiswa sudah terbiasa mengikuti ajang riset dan pengabdian masyarakat. Tentu kami dan tim bersyukur dan mengucapkan terimakasih kepada banyak pihak, terutama dosen pembimbing kami Bapak Dr. Abdur Rozaki, M.Si, Wakil Dekan III Fakultas Dakwah dan Komunikasi” ujar Desy.
Dr. Abdur Rozaki, M.Si, Wakil Dekan Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakuktas Dakwan dan Komunikasi merasa bangga atas capaian mahasiswa Prodi PMI yang telah mampu menunjukan kualitasnya di kancah nasional. Menjadi Juara I bukanlah perkara yang mudah, juara ini di raih atas kedisplinan dan semangat besar dari Desy Alhasah, Husnul Khotimah dan Jeky. “Semoga dengan prestasi ini mampu mendongkrak semangat mahasiswa yang lain untuk selalu mengukir prestasi” pungkas Rozaki .(AR/ Doni- Humas)


belajarngeposblog